Wednesday, May 4, 2016

Unknown

PHK 50.000 Pekerja dan Ekonomi Saudi Yang Ambruk

PHK 50.000 Pekerja dan Ekonomi Saudi Yang Ambruk

Murahnya harga minyak dunia menjadi perang terbuka antara Arab Saudi dan Amerika Serikat. Pemerintah Arab Saudi ngotot tak ingin memangkas produksi minyaknya. Bahkan, Arab Saudi menginginkan harga minyak dunia tetap berada di bawah USD 40 per barel.

Dilansir Forbes, Pemerintah Arab Saudi khawatir melakukan pemotongan produksi. Arab Saudi dicurigai ingin menghancurkan ekonomi Amerika Serikat. Amerika Serikat pun juga menjadi salah satu pemasok dan produsen minyak mentah dunia.

"Arab Saudi ingin menjaga harga di bawah USD 40 per barel dalam jangka pendek untuk menghancurkan ekonomi Amerika. Dalam jangka panjang, Arab Saudi ingin merebut kembali pasar minyak mentah dunia. Dalam perang ekonomi, Arab Saudi habis-habisan melemahkan perekonomian Amerika," ujar Analis Forbes Panos Mourdoukoutas, Selasa (19/4).

Dalam kasus ini, Arab Saudi berhasil membuat Amerika Serikat bergantung pada harga minyak dunia. Setelah hancur, Arab Saudi bakal langsung menggenjot kenaikan harga minyak dunia dan membiarkan harga minyak naik dengan cepat.

Alasan lainnya, Arab Saudi juga ingin menghancurkan ekonomi Rusia dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). "Saudi meningkatkan produksi minyak untuk merusak perekonomian Rusia," kata dia.

Panos menjelaskan Arab Saudi sengaja menghancurkan ekonomi Rusia. Sebab, negeri beruang merah ini menjadi salah satu penyokong dana organisasi radikal tersebut. "Dan satu-satunya cara untuk melakukan itu pada saat ini adalah untuk menjaga harga minyak tetap rendah," jelas dia.

Kendati demikian, strategi ini tidak akan bekerja. Rencana itu akan menjadi bumerang bagi Arab Saudi sendiri.

Ekonomi Saudi jadi berantakan, dan bahkan perusahaan di Saudi telah melakukan PHK massal.

Saudi Binladin Group memecat sekitar 50.000 pekerja. Keputusan PHK ini diambil perusahaan karena pemerintah Saudi menunda pembayaran kepada perusahan konstruksi sebagai bentuk pemotongan anggaran karena rendahnya harga minyak dunia. Harga minyak yang murah telah memangkas tiga perempat pendapatan pemerintah.

Koran setempat, Saudi al-Watan melaporkan, perusahaan konstruksi raksasa yang didirikan ayah almarhum pimpinan Al Qaeda Osama bin Laden ini mengakhiri kontrak 50.000 pekerja dan sebagian besar adalah orang asing. Perusahaan juga telah memberi visa agar pekerja bisa keluar secara permanen dari negara tersebut.

Beberapa pekerja menolak untuk meninggalkan pekerjaan karena mereka mengklaim perusahaan belum membayar mereka selama berbulan bulan.

Militer Saudi ketika dikonfirmasi Saudi al-Watan mengatakan para pekerja yang protes telah membakar tujuh bus di Makkah. Ini merupakan pemandangan langka di Arab Saudi.

Keputusan memecat karyawan ini merupakan puncak dari PHK 15.000 karyawan pada tahun lalu setelah kontrak dengan Binladin Group dibekukan karena insiden jatuhnya crane di Masjidil Haram tahun lalu.

Binladin Group yang memiliki kedekatan dengan keluarga kerajaan Saudi belum berkomentar soal masalah ini. Namun, perusahaan mengatakan kepada Bloomberg News bahwa karyawan yang diberhentikan telah menerima kompensasi penuh dan PHK merupakan rutinitas normal ketika proyek sudah selesai atau hampir selesai.

Binladin Group adalah salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Timur Tengah dan merupakan kontraktor utama Kingdom Tower dengan nilai proyek mencapai USD 1,23 miliar. Kingdom Tower merupakan calon gedung tertinggi dunia.

Keputusan ini ternyata berdampak pada Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Arab Saudi.

Ribuan pekerja Bid Ladin Grup di kawasan Iskan Fuq, Makkah, dari berbagai negara termasuk 1000 pekerja asal Indonesia melakukan aksi protes menuntut kejelasan penyelesaian gaji dan pemulangan terhadap mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak 4 bulan terakhir. Mereka melakukan aksi anarkis dengan pembakaran mobil petugas dan memaksa memasuki kantor pengelola.

Aksi massa ini makin diperparah dengan tidak adanya distribusi logistik dan listrik sejak 30 April 2016. Hingga pagi ini suasana masih mencekam di sekitar lokasi.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah diketahui ikut membantu menangani kasus WNI karyawan Bin Ladin Group. Staf KJRI Jeddah yang ada di lokasi langsung melakukan berbagai upaya untuk menenangkan dan memberikan pengertian kepada sekitar 1000 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di kamp tersebut agar tidak terpicu aksi anarkis, sekaligus memberikan bantuan logistik, sumber siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia kepada merdeka.com, Minggu (1/5).

Diperkirakan terdapat sekitar 6000 WNI bekerja sebagai karyawan perusahaan konstruksi terbesar di Arab Saudi, Bin Ladin Group. Akibat kesulitan keuangan yang dihadapi setelah peristiwa jatuhnya Crane pada musim haji lalu, ribuan karyawan di PHK, termasuk dari Indonesia.

Ironinya, keputusan PHK atau pemecatan ini datang setelah Saudi mengeluarkan strategi baru untuk menyelamatkan ekonominya.

Negara kaya minyak ini bahkan telah mengeluarkan cetak biru ekonomi jangka panjang untuk menghadapi rendahnya harga minyak dunia. Namun, hal ini tidaklah mudah karena banyaknya tantangan struktural negara yang harus dihadapi Kerajaan.

Cetak biru ekonomi Saudi jangka panjang ini disebut 'Saudi Vision 2030' yang mengubah beberapa peraturan, anggaran dan kebijakan dalam 15 tahun ke depan. Intinya, Saudi ingin mengurangi ketergantungan keuangan negara pada sektor minyak. Sebagai eksportir minyak terbesar dunia, defisit anggaran Saudi pada 2015 mencapai rekor tertinggi yaitu USD 98 miliar.

Para pejabat setempat sudah mengambil tindakan untuk mendiversifikasi pendapatan sebelum kas negara mengering. Bulan ini, Deputi Putra Mahkota, Mohammed bin Salman mengatakan pada perusahaan minyak milik negara, Aramco agar asetnya dan investasinya di arahkan ke sektor lain.

Analis dari McKinsey menyebut, Saudi bisa menaikkan pendapatan negara dan memperbaiki ekonominya dengan beberapa syarat. Pertumbuhan PDB bisa tumbuh dua kali lipat di tahun ini dibanding 2015 jika pejabat setempat bisa fokus pada delapan sektor non-minyak seperti manufaktur, pertambangan, pariwisata, kesehatan, dan keuangan. PDB Saudi sendiri tumbuh 3,4 persen di 2015.

Sebelum mengeluarkan kebijakan ini, Saudi telah memotong subsidi BBM di negaranya.

Saat mata dunia tertuju pada ketegangan atau konflik diplomatik Arab Saudi-Iran, masyarakat Saudi sendiri justru sedang menghadapi bom ekonomi. Saudi mulai kehabisan uang tunai karena rendahnya harga minyak dunia.

Sekitar 75 persen anggaran Saudi berasal dari penjualan minyak. Sedangkan harga minyak telah anjlok dalam dari USD 100 per barel di 2014 menjadi hanya USD 36 per barel saat ini. Kebanyakan ahli memprediksi harga minyak masih akan bertahan rendah.

Persediaan dana tunai Saudi menipis sehingga pemerintah menaikkan harga bensin 50 persen dan membuat warga Saudi mengantre panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) hari Senin (4/1) lalu sebelum harga baru berlaku.

"Pemerintah telah mengumumkan pemotongan subsidi dan akan menyakiti keuangan tiap masyarakat," kata mantan duta besar Amerika Serikat di Arab Saudi, Robert Jordan seperti dikutip dari CNN, Rabu (6/1).

Harga bensin di Saudi sebelumnya hanya USD 16 sen per liter, dan ini menjadi satu yang termurah di dunia. Sekarang harga naik menjadi maksimal USD 24 sen per liter, masih sangat murah.

"Banyak warga Saudi mengendarai mobil-mobil SUV (sport utility vehicle) yang besar dan tidak memiliki konsep menghemat bensin," sambung Robert.

Kenaikan harga bensin in hanya permulaan. Dalam waktu dekat pemerintah akan menaikkan tarif air dan listrik, dan menunda belanja infrastruktur.

Ini merupakan kebijakan yang lazim dilakukan suatu pemerintahan ketika mulai kekurangan dana tunai. Namun khusus bagi Saudi, situasinya sangat problematik karena sebagian besar warga Saudi bekerja di sektor publik.

sumber : merdeka.com

Subscribe to this Blog via Email :