Tuesday, May 24, 2016

Unknown

Harjono : Saya malah mengapresiasi langkah Ahok

Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga ,Dr Harjono SH MCL menilai keputusan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tentang pembangunan fasilitas umum dengan kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta tidak tepat disebut sebagai diskresi.

Mantan Hakim Konstitusi yang diusulkan langsung oleh Presiden Megawati tersebut menyatakan keputusan Gubernur yang biasa disapa Ahok itu secara definisi Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tersebut merupakan keputusan manajerial yang memang melekat pada jabatan.

"Yang jadi ukuran Doelmatigeheid untuk keuntungan siapa. Saya malah mengapresiasi langkah Ahok untuk itu karena ketentuan tidak mewajibkan tapi kenapa pihak swasta mau melakukan. Kalau ada masalah mestinya swasta yang berkeberatan dan melakukan permohonan pembatalan,” tuturnya.

Dia menuturkan di kalangan hakim di Indonesia terdapat dua teori Rechtmatig dan Doelmatig.

Rechtmatig suatu putusan yang hanya mengandalkan pada hukum dan perundang-undangan saja.

Sementara Doelmatig suatu putusan tidak hanya berdasar pada hukum tetapi juga berdasarkan pada tujuan hukum yaitu mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.

Kedua teori itu, lanjut Harjono, sama benarnya.

Tetapi untuk mendapatkan putusan yang benar dan adil sangat tergantung pada kualitas logika masing-masing hakim.

Penganut Rechtmatig lebih mudah pertanggungjawabannya dari pada menganut Doelmatig.

Dalam penilaian Harjono, masih banyak aparat hukum bahkan hakim yang mementingkan Rechtmatig ketimbang Doelmatig.

Karena dari segi pertanggungan jawab resikonya yang lebih kecil dalam menerapkan Rechtmatig ketimbang Doelmatig.

“Pembangunan fasilitas umum sebagai kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta tertuang dalam perjanjian tertulis antara Pemprov dan swasta justru menjadi bukti kuat untuk tidak adanya upaya pemerasan.”

Mantan anggota MPR tersebut mengingatkan prinsip hukum ketika terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian.

Dengan mengutamakan prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusaha menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas legalitas maka aparat hukum tidak hanya menjadi mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut, tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejati.

Meski demikian Harjono mengingatkan adanya penjelasan penyalahgunaan wewenang pada Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang membuat penyidik dan penuntut umum tindak pidana korupsi eks pasal 3 UU Tipikor akan mudah menafsirkan pengertian dan istilah Penyalahgunaan Wewenang terkait penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh Penyelenggara Negara atau pegawai negeri lainnya atau aparat penegak hukum.

Jika kondisi tersebut terjadi, Harjono mempersilahkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama untuk melihat Pasal 21 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengajukan permohonan ke PTUN untuk membuktikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Apabila putusan hakim menyatakan tidak ada penyalahgunaan wewenang, maka pejabat tersebut telah terhindar dari sanksi pidana akibat tindak pidana korupsi yang selama ini menjadi opini Komisi Pemberantasan Korupsi yang diutarakan ke media massa.

sumber : tribunnews.com

Subscribe to this Blog via Email :